PT KP Press - Pasar keuangan dunia, termasuk Indonesia kacau balau dalam beberapa waktu terakhir. Hal ini tidak terlepas dari situasi Amerika Serikat (AS) dan kebijakan Bank Sentral Federal Reserve (Fed) yang terus menaikkan suku bunga acuan.
"Tiba-tiba dua hari yang lalu salah satu board membernya menyampaikan ini inflasi masih tinggi di atas, kita melihat nampaknya The Fed harus pertahankan suku bunga tinggi dalam jangka waktu yang lama," kata Destry di Hotel Four Seasons, Jakarta, Rabu (4/10/2023).
Penyebab berubahnya arah kebijakan The Fed ini menurut Destry karena adanya indikasi inflasi masih akan terus tinggi disebabkan harga minyak yang terus meninggi hingga tawaran upah yang juga tinggi, khususnya di sektor jasa yang tengah berkembang di negara itu karena terbatasnya tenaga kerja di sektor itu.
Akibatnya, pelaku pasar masih banyak yang memperkirakan akan ada kelanjutan kenaikan Fed Fund Rate ke depan. Bagi Indonesia, sentimen ini menurut Destry makin buruk lantaran jika The Fed merealisasikan kenaikan suku bunga Fed Fund Rate pada November 2023 sebesar 25 basis poin.
"Gara-gara itu semuanya heboh, panik, akibatnya DXY, dolar index naik 107, lebih parahnya lagi bond yieldnya US Treasury 10 tahun naik ke 4,7%, itu the highest ever since 2007. Apa yang terjadi? Market kita ikut bergerak, sehingga bond yield kita ikut naik, rupiah kita mulai tertekan," tegas Destry.
Indeks dolar AS (DXY) pun turut merespon dengan mengalami penguatan belakangan ini yang berujung tertekannya mata uang Garuda. Indeks dolar AS (DXY) pada Jumat (6/10/2023) pukul 08.55 WIB, berada di posisi 106,41 atau naik 0,08% jika dibandingkan penutupan perdagangan Kamis (5/10/2023) yang berada di posisi 106,33.
Sebagai catatan, perangkat CME FedWatch menunjukkan 20,4% pelaku pasar meyakini terjadinya kenaikan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) pada Federal Open Market Committee (FOMC) November mendatang. Sementara 33% pelaku pasar meyakini kenaikan tersebut terjadi di bulan Desember 2023.
Imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun terbang ke level tertingginya dalam 16 tahun terakhir. Imbal hasil US Treasury 10 tahun (US10YT=RR) naik 6,9 basis poin (bps) menjadi 4,8% pada Selasa (3/10/2023). Level tersebut adalah yang tertinggi sejak awal Agustus 2007 atau tepat sebelum krisis keuangan global.
Christopher Andre Benas Head of Research BCA Sekuritas dalam program Closing Bell CNBC Indonesia, menyatakan hal ini yang menjadi penyebab nilai tukar rupiah melemah. Padahal fundamental perekonomian sangat baik.
"Fundamental sih level segini gak menggambarkan fundamental, karena ekonomi Indonesia sangat baik, trade balance, CAD (current account deficit) masih oke. Jadi sebenarnya menurut saya Indonesia masih sangat baik," ungkapnya.
Hal yang senada diungkapkan oleh Ralph Birger Portiray Head of Treasury & Financial Institution Bank Mega. Dia menambahkan hampir seluruh mata uang dunia bertekuk lutut terhadap dolar AS. Bahkan dilihat dari pergerakan awal tahun, level rupiah sekarang masih cukup wajar.
"Walaupun rupiah ada depresiasi cukup signifikan, tetapi depreasiasi itu masih dalam tahap yang wajar, karena performance rupiah masih dalam range yang diperkirakan. Rp15.600/US$ bukan sesuatu yang aneh," terang Ralph.
Ramalan Joseph Stiglitz
Ekonom Amerika Serikat peraih penghargaan nobel di bidang ekonomi Joseph Stiglitz mengungkapkan bank sentral Amerika Serikat, yaitu The Federal Reserve (The Fed) salah mendiagnosa penyebab kenaikan inflasi di negaranya.
Kesalahan diagnosa terhadap inflasi itu membuat The Fed terus menaikkan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) secara cepat dan bertengger di level yang tinggi untuk jangka waktu panjang. Tujuannya untuk meredam permintaan agregat.
"Menaikkannya terlalu cepat, dan terlalu jauh, menunjukkan kesalahan diagnosa. Mereka meyakini bahwa inflasi ini hasil dari agregat demand yang kuat," ujar Stiglitz dalam program Money Talks CNBC Indonesia.
Ketimbang disebabkan permintaan agregat yang kuat, Stiglitz menganggap, inflasi yang tinggi di Amerika Serikat cenderung disebabkan masalah pasokan (supply side). Sebab, pasokan barang dan jasa memang tengah terganggu di duni akibat masa Pandemi Covid-19 dan perang Ukraina-Rusia.
Ia mencontohkan, sejak pandemi dan akibat perang Ukraina-Rusia, dunia tengah menghadapi kurangnya pasokan chip untuk kendaraan, akibatnya harga kendaraan tinggi beberapa waktu lalu. Namun, di beberapa negara cara meredamnya bukan menaikkan suku bunga acuannya. "Harga mobil jadi teratasi. Harga minyak turun dari US$120 menjadi US$80. Dan dan tentu saja harga-harga yang tinggi itu ada harganya yang diterjemahkan ke dalam inflasi inti, tapi sistemnya stabil," ucap Stiglitz.
Oleh sebab itu, ia menekankan, cara mengendalikan inflasi yang disebabkan pasokannya yang terganggu tidak bisa memanfaatkan metode kenaikan suku bunga acuan yang hanya mematikan ekonomi karena mengurangi permintaan, karena pasokannya yang bermasalah. "Tidak ada alasan untuk mematikan perekonomian. Itu tidak akan sepadan dengan keuntungannya. Kita sebenarnya bisa menaikkan upah pekerja tanpa menyebabkan inflasi yang besar," tuturnya.
Ia pun mengaku sangat menentang pernyataan The Fed yang masih ingin menaikkan angka pengangguran hanya demi meredam angka inflasi di negara itu. Menurutnya, itu hanya akan merugikan AS dan negara-negara lain dan The Fed tidak bisa terus menerus hanya menggunakan kebijakan suku bunga untuk meredam inflasi. "Saya sangat kritis terhadap pernyataan The Fed yang ingin meningkatkan angka pengangguran. Tentu saja, hal ini selalu mempunyai dampak global di luar AS," tegas Stiglitz.
Aksi Fed membuat pasar keuangan dunia bergejolak. Mata uang berjatuhan dan mengakibatkan banyak negara kesulitan untuk mendapatkan utang dengan harga yang terjangkau. Bagi negara yang tidak kuat, maka harus siap menerima krisis keuangan. - PT KP Press
Sumber : cnbcindonesia.com