Rabu, 19 Desember 2018

Kontroversi Iklan Gerindra soal Sarjana Susah Dapat Kerja


PT Kontak Perkasa Futures - Partai Gerindra merilis iklan kampanye dan menggambarkan sarjana yang baru lulus sulit mendapatkan pekerjaan. Sarjana arsitektur itu akhirnya memilih untuk bekerja paruh waktu di berbagai sektor jasa mulai dari jasa antar hingga fotografer.

Iklan ini menuai banyak komentar dari kalangan netizen, pengamat ekonomi hingga kalangan profesional seperti Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Pasalnya iklan dinilai kurang tepat dan tidak menawarkan solusi untuk menyelesaikan masalah.

Pengamat Ekonomi dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar B Hirawan mengungkapkan iklan tersebut tidak relevan.

Dalam teori ekonomi, ada tiga jenis pengangguran yang ada, pertama pengangguran friksional atau pengangguran sementara, kemudian ada pengangguran struktural hingga siklikal.

"Untuk pengangguran kategori cyclical jelas tidak terjadi karena fundamental ekonomi Indonesia saat ini cukup kuat dan stabil," kata Fajar.

Dia menyampaikan, yang digambarkan oleh iklan tersebut adalah seorang anak muda yang masuk ke kategori pengangguran friksional atau dalam masa menunggu. Memang, dalam iklan diceritakan ada seorang sarjana arsitektur yang baru lulus dan sudah melamar ke sana-sini namun belum mendapatkan pekerjaan.

"Hal itu wajar dan pasti dialami oleh mayoritas pencari di pasar kerja. Nah mengenai waktu lamanya menunggu, tergantung dari bagaimana pasar bisa mencocokkan keahlian yang dimiliki pencari kerja dengan permintaan perusahaan di pasar kerja," imbuh dia.

Profesi arsitek seharusnya mudah mendapatkan pekerjaan karena banyaknya pembangunan yang dilakukan.

"Si pencari kerja di iklan ini sayangnya tidak digambarkan dengan tepat, karena contohnya adalah sarjana arsitektur. Arsitek adalah profesi di bidang jasa yang seharusnya sangat relevan dengan semangat pembangunan infrastruktur fisik yang terus dikerjakan pemerintah saat ini," kata Fajar.

Dia menjelaskan, memang sejak 2008 kontribusi sektor komoditas yang diperdagangkan seperti pertanian, pertambangan dan industri manufaktur terhadap produksi domestik bruto (PDB) cenderung menurun dan lebih rendah dibandingkan sektor jasa.

Hal ini karena didorong oleh fenomena transformasi struktural di mana porsi tenaga kerja yang bekerja di sektor jasa terus meningkat. Sementara porsi tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian dan industri manufaktur cenderung stagnan bahkan menurun.

Menurut dia, kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan di Asia Pasifik dan dunia secara umum juga mengalami pergeseran.

"Jadi masa menunggu tadi ditambah pergeseran atau transformasi struktural yang terjadi di Indonesia lah yang menyebabkan matching antara pencari kerja dan perusahaan memerlukan waktu yang lebih lama," imbuh dia.

Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Ahmad Djuhara menjelaskan ada bias dari iklan kampanye terkait profesi arsitek di Indonesia. Menurut dia ada hal-hal yang perlu diluruskan dari iklan ini karena memberi dua pesan misalnya susahnya mencari pekerjaan dan susah jadi arsitek di Indonesia.

"Bagaimanapun pihak atau partai manapun sebaiknya ikut membangun profesi, vokasi dan okupasi apapun di Indonesia dengan nada yang optimis dan positif," kata Ahmad saat dikonfirmasi.

Sebagai Ketua Umum dirinya tidak akan membawa IAI ke ranah politik praktis. Pasalnya arsitektur adalah murni profesi.

Ahmad menyampaikan arsitek saat ini sudah memiliki Undang-undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek.

"Terima kasih kepada pemerintah dan DPR yang sudah mengundangkan UU tentang arsitek ini. Maka arsitek adalah profesi yang diregulasi negara, berkekuatan dan berkonsekuensi hukum," imbuh dia.

Profesi arsitek saat ini sangat unik, ia bisa bekerja dengan orang lain, praktik mandiri dan perlu mengikuti alur proses pendidikan arsitek melalui magang kepada mentor. Saat ini profesi arsitek lebih didorong untuk bekerja mandiri, self employed sebagai entrepreneur, masuk dunia kreatif.

"Sebaiknya penyampaian pesan tentang profesi arsitek bisa lebih baik," imbuh dia.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, komposisi pekerja Indonesia di sektor informal saat ini memang lebih tinggi dibanding pekerja formal.

Menurut data ketenagakerjaan, sebanyak 56,8% masyarakat Indonesia saat ini bekerja di sektor informal, yang diiringi naiknya jumlah pekerja yang berwirausaha di Indonesia.

"Rasio kewirausahaan memang naik. Artinya orang lebih memilih jadi wirausaha. Karena lebih dari 56% itu masyarakat bekerja di sektor informal per Agustus 2018," katanya.

Selain itu, Dalam setahun terakhir, jumlah orang bekerja di atas 35 jam dalam seminggu juga turun -0.74%. Sementara yang kerja paruh waktu naik 1,67%. Data ini menguatkan bahwa semakin sedikit orang yang bekerja di sektor formal.

"Artinya banyak yang memilih bekerja di sektor informal. Seperti driver ojek online misalnya," ujar dia.

Namun kondisi ini menurutnya terjadi tak semata-mata lantaran tren bekerja di sektor informal lebih favorit sekarang ini. Meski didukung oleh ekosistem teknologi yang menunjang orang lebih banyak berwirausaha, namun ketidaktersediaan lapangan pekerjaan formal dan kemampuan sumber daya manusia mengikuti standar yang dibutuhkan sektor formal masih rendah.

"Kalau saya bilang ini keterpaksaan. Karena memang pengangguran turun tapi tidak disertai dengan penyerapan tenaga kerja yang lebih baik. Karena memang di sektor manufaktur, konstruksi, perdagangan itu penyerapan tenaga kerjanya tak terlalu tinggi. Justru di sektor jasa," ungkapnya. - PT Kontak Perkasa Futures

Sumber : detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar